Vibes Trilogi Pembangunan
Sumitronomics dibicarakan bukan hanya di forum akademis yang berdebu, juga di tajuk berita, di thread Twitter, jadi konten berjam-jam di YouTube. Rebranding dengan vibes Trilogi Pembangunan ala Orba.

Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah tidur—jalanan macet yang terasa seperti purgatori, dan feed media sosial yang bising oleh algoritma tanpa empati—tiba-tiba muncul satu kata yang mendesak, bak mantera pemanggil hujan di musim kemarau politik: Sumitronomics.
Bukan hanya di forum akademis yang berdebu, melainkan menari-nari di tajuk berita, merayap di thread Twitter, jadi konten berjam-jam di YouTube, bahkan menjadi latar belakang meme absurd yang mewakili kebingungan Gen Z akan janji pertumbuhan ekonomi 8%.
Seorang filsuf ekonomi dari masa lalu, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, yang idealisme strukturalnya terkubur di bawah lapisan Orde Baru dan reformasi neoliberal, kini dipanggil kembali ke panggung 2025. Ia dijadikan bapak baptis bagi cetak biru ekonomi yang ambisius oleh putranya, Presiden Prabowo Subianto, dan di-endorse habis-habisan oleh para teknokrat baru.
Esensinya? Tiga pilar yang terdengar sakral: Pertumbuhan Ekonomi Tinggi (Target 8%), Pemerataan Pembangunan yang Adil, dan Stabilitas Nasional yang Dinamis. Di sinilah letak humor absurdnya: kita sedang membicarakan konsep ekonomi kekinian dengan vibes Trilogi Pembangunan era Orde Baru.
Apakah arwah Profesor Sumitro benar-benar bisa membawa pertumbuhan 8%, ataukah ia sekadar label premium untuk mengemas ulang mimpi lama?
Sumitronomics bukan sekadar wacana teoretis, melainkan sudah menjadi nomenklatur resmi dari strategi pembangunan di bawah pemerintahan baru. Pemberitaan media (September 2025) secara konsisten merujuk pada tiga tema utama yang dipromosikan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa:
Pertumbuhan Angka Mistis 8%: Ini adalah hook narasi yang paling menjual. Menkeu Purbaya dengan lantang menyebut bahwa target 8% pada 2029 adalah realistis, mengutip contoh Korea Selatan dan Tiongkok yang pernah mencapai angka fantastis tersebut untuk lolos dari perangkap negara berpenghasilan menengah (middle-income trap).
Strategi untuk mencapainya adalah dengan menggenjot sektor nilai tambah tinggi, hilirisasi sumber daya alam, dan pemberian insentif fiskal. Ini adalah Janji Tanah Kanaan yang dilemparkan ke hadapan publik yang sudah terlanjur skeptis dengan angka 5% yang stagnan.
Pemerataan (Si Raksasa yang Tidur): Ini adalah inti dari idealisme Sumitro. Banyak ahli sepakat bahwa Sumitronomics menekankan peran aktif negara—ala Keynesian dengan sentuhan struktural—untuk memprioritaskan masyarakat perdesaan, usaha kecil, dan penguatan koperasi.
Konsep ini menolak laissez-faire dan menuntut intervensi pemerintah yang terarah, tetapi pada kenyataannya mewujud dalam program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini menyedot anggaran paling besar. Program ini dibingkai sebagai upaya mengatasi stunting sekaligus menopang daya beli di kalangan expanding middle-class.
Stabilitas dan Lembaga Sakti: Stabilitas (sosial, politik, dan moneter) dipandang sebagai prasyarat tak terhindarkan untuk mencapai pertumbuhan. Salah satu manifestasi kebijakan yang paling mencolok dan terkait langsung dengan legacy Sumitro adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi Nasional (SWF) Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Badan Pengelola Investasi Nasional adalah sebuah konsep yang pernah dicita-citakan Sumitro puluhan tahun lalu. Danantara dianggap sebagai alat strategis untuk memobilisasi sumber daya domestik (aset BUMN) demi investasi jangka panjang dan kemandirian ekonomi.
Apakah comeback Sumitronomics ini nyata? Ia bukan sekadar penghormatan filantropis, melainkan manuver teknokratis-politis untuk memberikan dasar filosofis yang kokoh pada serangkaian kebijakan populis dan ambisius. Cara paling relevan untuk membedah ini ya menggunakan pisau Strukturalisme Ekonomi Pembangunan, yang dianut Sumitro Djojohadikusumo sendiri.
Strukturalisme, dalam konteks ini, menegaskan bahwa masalah ekonomi di negara berkembang (seperti Indonesia) bukan sekadar kegagalan pasar, melainkan masalah struktur—ketergantungan pada ekspor bahan mentah, sektor manufaktur yang lemah, dan ketidakseimbangan regional/sosial. Solusinya, intervensi negara secara massif.
Bayangkan ekonomi Indonesia sebagai karakter dalam game RPG. Kita terjebak di Level 50 (Middle-Income Trap), dengan skill utama hanya ‘Mining Raw Ore’ dan gear yang sering lagging (infrastruktur). Strukturalisme, ala Sumitronomics, justru berkata: “Kita harus Reset Skill Tree dan melakukan upgrade firmware total!”
Ulasan kritis dari kacamata akademisi kontemporer menelanjangi narasi Sumitronomics (The Economist, 2025). Semangat Strukturalisme Sumitro yang pragmatis berpotensi dikhianati oleh implementasi yang populis dan otoriter. Ini menciptakan ketegangan dramatis: pertarungan antara legacy yang disiplin melawan policy yang sensasional.
Lihatlah Program MBG. Di mata para pendukung, program ini ibarat Battle Pass mahal untuk memeratakan gizi. Namun, Sumitro yang dikenal pragmatis dan berbasis bukti mungkin akan sangat terkejut. Ia selalu menekankan identifikasi masalah yang benar; tegakkan fakta; terapkan logika.
Analis seperti Arianto Patunru (Australian National University) mengkritik bahwa fokus program ini semata angka mentah hidangan yang disajikan, bukan kualitas nutrisi atau target sasaran yang tepat. Jika tujuan struktural mengatasi stunting, maka sumber daya seharusnya diarahkan ke ibu hamil dan balita, bukan malah menyasar anak sekolah.
Ini seperti menghabiskan seluruh uang di game untuk membeli skin yang keren (jumlah makanan banyak) sementara stats karakter utama (gizi balita dan ibu hamil) tetap lemah. Ini adalah intervensi yang tidak terverifikasi, persis seperti yang Sumitro peringatkan jika tidak ada kapasitas kelembagaan yang memadai untuk mengeksekusinya dengan baik.
Aburdnya Koperasi Merah Putih. Sumitro, dalam tesis PhD-nya pada 1942 membahas kredit perdesaan di Jawa. Ia melihat koperasi sebagai alat desentralisasi dan pemberdayaan sejati (bottom-up). Tujuannya adalah membebaskan pedagang kecil dari jebakan utang (rent-seeking debt economies), bukan alat kontrol politik.
Sementara rezim anaknya, Prabowo, menginisiasi Koperasi Merah Putih dari atas alias top down. Tak heran kalau analis politik seperti Kevin O’Rourke, mengkritiknya sebagai upaya memaksakan model seragam pada 80.000 koperasi nasional, dengan mengabaikan kebutuhan lokal.
KMP jelas bukan open-source development yang berbasis komunitas (ideal Sumitro), melainkan pemasangan software standar dari pusat (sentralisasi). Ujungnya hanya bertujuan memperluas kontrol politik hingga ke tingkat desa. Ini justru mengkhianati semangat Strukturalisme: Bottom-up empowerment.
Terakhir, Danantara. Meskipun Danantara diklaim sebagai pemenuhan visi Sumitro untuk konsolidasi aset negara, kontradiksinya lebih keras. Sumitro, yang menyaksikan institutional disease korupsi dan kepentingan pribadi di masa lalu, bisa-bisa mengutuk struktur Danantara karena chaos kelembagaan.
Danantara dilaporkan langsung ke presiden, dipimpin oleh mantan manajer kampanye, dan memiliki pengawasan yang minim. Inilah yang dalam istilah Sumitro “institutional disease”: korosi kebijakan publik oleh kepentingan pribadi. Bahwa ada janji-janji soal tranparansi, semua masih di bibir saja.
Banyak yang mengingatkan bahwa warisan Sumitro menuntut “logika teknokratis dan sasaran terukur”. Tanpa pengawasan ketat dan kelembagaan yang disiplin, infinity gauntlet investasi ini hanya akan menjadi alat yang rentan terhadap kepentingan politik, bukan kemandirian ekonomi.
Sumitronomics menjadi upaya branding yang cerdas untuk memberi akar historis dan legitimasi yang kuat pada agenda ekonomi pemerintah saat ini. Ia adalah label vintage nan estetik yang dipasang pada botol berisi campuran ambisi modern dan janji populis.
Di satu sisi, ia adalah rencana yang ambisius, berani memasang target 8% dengan semangat strukturalis yang menolak dogma pasar bebas murni. Ia mengakui, secara eksplisit, peran fundamental negara sebagai agen pembangunan, baik melalui kebijakan supply-side (hilirisasi, Danantara) maupun demand-side (program pemerataan).
Di sisi lain, pilihan saat ini—populisme belanja (makan siang, sekolah rakyat) dan kontrol otoriter (tentara di jabatan sipil, koperasi seragam, Danantara minim oversight)—cenderung mengorbankan disiplin fiskal dan kelembagaan demi meraih dukungan politik jangka pendek. Kecuali, penempatan serdadu dan loyalis dalam birokrasi direken sebagai penguatan kelembagaan.
Kita hanya sedang menukarkan mimpi lama dengan mimpi baru tanpa pernah benar-benar bangun dari tidur struktural yang panjang, sementara arwah Sang Profesor hanya bisa menggeleng dari jauh.
