Suara kritis Trisula Krisis
Kesadaran kritis selalu menarget sistem. Ia menyasar perubahan struktur, mengobrak-abrik status quo lewat kebijakan yang radikal.
Malam ini, di tengah riuh rendah feed kita yang dipenuhi meme filosofis dan klip-klip penuh kemarahan yang mendadak bijak, ada suara lirih yang nyaris tak terdengar. Suara itu bukan milik algoritma, bukan pula milik komentator yang sedang naik daun. Itu adalah suara Joseph E. Stiglitz.
Ia adalah ekonom penerima Nobel (2001). Alih-alih berteriak lantang dari menara gading akademisnya, ia justru menjadi hantu intelektual yang gagasannya bergentayangan di kanal-kanal digital. Gagasannya jadi jubah kenabian palsu oleh mereka yang khilaf memahami asbabun nuzul-nya.
Filsuf ekonom tua itu kini menjadi semacam deus ex machina yang pemikirannya ditarik-ulur oleh segala macam konten viral. Kita seolah-olah baru sadar akan eksistensi trisula krisis: Ketimpangan Ekstrem, Mobilitas Terhenti, dan Turunnya Kepercayaan Sosial.
Pembahasannya ada pada sebuah dokumen milik Bank Dunia (2020), meski, baik Bank Dunia maupun Tuan Stiglitz tidak menggunakan istilah ini: Trisula krisis. Ia terselip di sana-sini, dibicarakan sebagai elemen krisis yang penting.
Jauh sebelum memasuki ruang digital, seorang profesor di Columbia menyinggungnya dalam risalah tebal, sebuah peta jalan menuju kebobrokan, yang dia sebut The Price of Inequality (2012). Dari sana, akan terasa benar bahwa Tuan Stiglitz pada dasarnya seorang Freirian di bidang ekonomi.
Trisula krisis yang didiagnosis Stiglitz bukanlah gejala independen, melainkan manifestasi kolektif dari kegagalan sistem untuk melayani mayoritas. Ia adalah peta yang dirancang untuk memicu conscientização.
Kita mulai dari pilar pertama, Ketimpangan Ekstrem. Ini bukan hukum alam, melainkan hasil dari desain yang dimanipulasi. Stiglitz menunjukkan bahwa ketimpangan terjadi karena elite mendikte aturan permainan. Ini meliputi keringanan pajak bagi si super-kaya (yang berujung AS menjadi tax haven terbesar di dunia), dan deregulasi sektor keuangan.
Selain itu ada kegagalan antitrust yang melahirkan monopoli oleh raksasa teknologi, yang kini diperkuat algoritma keserakahan AI. Melalui praktik rent-seeking, orang kaya tidak perlu lagi berinovasi; mereka hanya perlu menggunakan pengaruh politik untuk memperbesar porsi kue yang sudah ada. Kekayaan mereka tumbuh karena sistemnya curang, bukan karena bekerja lebih keras—inilah akar Ketimpangan Ekstrem ala Stiglitz.
Selanjutnya, tentang Mobilitas Terhenti. Ini bukti kegagalan mengkonversi modal sosial menjadi kemakmuran. Stiglitz secara konsisten menekankan bagaimana biaya pendidikan tinggi (sebagai modal budaya) melambung, memblokir akses anak-anak dari kelas bawah untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi. Jalur mobilitas sosial macet, bahkan jalan mundur.
Krisis (seperti pandemi atau krisis utang global) selalu menciptakan pemulihan berbentuk huruf K: Dua grafik dengan salah satu menjulang ke atas (The Upswing), dan grafik lainnya menukik ke bawah (The Downswing): Si kaya makin kaya, yang miskin kian terperosok. Ini secara sistemik mengunci kelas pekerja dalam utang dan ketidakamanan, memastikan status quo bereplikasi dari generasi ke generasi.
Lalu, Turunnya Kepercayaan Sosial. Inilah konsekuensi politik dan moral dari dua sinyal sebelumnya. Kepercayaan hilang ketika publik melihat para elite politik dan korporasi berulang kali melanggar kontrak sosial—mereka menikmati fasilitas negara, tetapi menghindari tanggung jawab fiskal (pajak). Ini adalah dampak gagalnya credible commitment.
Dalam konteks industri AI, misalnya, ini terlihat jelas ketika Big Tech mengambil untung dari data publik tanpa kompensasi yang adil, dan lobi mereka melemahkan regulasi perlindungan konsumen. Ketika sistem terlihat hanya melayani 1% teratas, masyarakat menarik investasi kepercayaan mereka dari institusi (pemerintah, bank, bahkan media).
Inilah pemicu sinisme massal, polarisasi politik, dan hasrat destruktif untuk mereset ulang sistem—di media sosial, misalnya, kita pernah melihat seruan “Bubarkan DPR”. Sebuah respons naluriah yang dilahirkan dari rasa dikhianati. Tapi, coba perhatikan lagi kata kuncinya: Sistem.
Maka tibalah kita pada klaim bahwa Stiglitz bisa disandingkan dengan filsuf pendidikan seperti Paulo Freire. Jawabannya terletak pada etika dan tujuan analisis mereka: Menolak fatalisme sosial. Motif ini yang akan mendorongnya menjadi peta untuk memicu conscientização; kesadaran kritis.
Freire mengajarkan kesadaran kritis yang intinya menyatakan: Kaum tertindas harus menyadari bahwa penderitaan mereka bukanlah takdir, melainkan hasil dari opresi struktural yang dibuat oleh manusia, dan karenanya bisa diubah. Stiglitz, dalam ekonominya, melakukan hal yang kurleb sama.
Ia juga menolak fatalisme pasar. Stiglitz dengan keras menolak narasi fatalistik yang menyatakan Ketimpangan Ekstrem adalah konsekuensi tak terhindarkan dari globalisasi atau kemajuan teknologi. Stiglitz membuktikan bahwa ketidaksetaraan itu hasil desain kebijakan yang disengaja. Sebangun dengan penolakan Freirian terhadap “kemiskinan adalah salah kaum miskin.”
Karya Stiglitz juga berfungsi sebagai materi bacaan pembebasan. Dengan mengungkap detail mekanisme rent-seeking, manipulasi pajak, dan kegagalan sistem, ia memberikan “kunci” kepada publik. Pengetahuan ini adalah prasyarat bagi masyarakat untuk mencapai kesadaran kritis kolektif.
Pengungkapan ala Stiglitz membuat publik jadi tahu persis apa dan siapa yang menindas mereka—sehingga tuntutan reformasi politik menjadi rasional, bukan sekadar teriakan emosional. Maka, menyasar si kaya bukanlah tuntutan rasional. “Eat the rich” yang dikumandangkan Chaumette, jadi tak masuk akal. Di mata Freirian, ini aksi para tertindas yang mengulangi siklus penindasan.
Stiglitz, dengan demikian, pantas disebut Freirian sejati di ranah ekonomi. Ia menggunakan otoritas akademisnya untuk mengadvokasi pembebasan dari dogma pasar yang opresif. Stiglitz menunjukkan bahwa informasi adalah kekuasaan, dan telah dieksploitasi untuk menciptakan keuntungan sepihak.
Dalam diskusi terbarunya dengan Anton Korinek (webinar GovAI), Tuan Stiglitz memperluas Trisula Krisis-nya ke domain yang paling kekinian: Akal Imitasi (AI). Fokusnya tidak lagi mendera Wall Street; ia menunjuk langsung Big Tech dan euforia AI, menjadikannya bukti paling mutakhir dari praktik opresi struktural di era digital.
Stiglitz bahkan memulai dengan tesis yang sangat Freirian: AI berpotensi menjadi algoritma keserakahan yang memperburuk Ketimpangan Ekstrem. Ia menolak narasi fatalistik bahwa dampak AI adalah konsekuensi teknologi yang tak terhindarkan. Sebaliknya, AI adalah instrumen yang dapat didesain, dan saat ini, desainnya didorong oleh insentif pasar yang cacat.
Di antaranya, peningkatan rent-seeking. AI memperkuat monopoli data dan kekayaan intelektual yang sudah ada. Perusahaan teknologi raksasa (Big Tech) menggunakan AI untuk mengkonsolidasikan kekuatan, bukannya berinovasi untuk kepentingan sosial. Mereka menginvestasikan AI untuk menggantikan tenaga kerja (terutama low-skill labor) demi efisiensi modal, yang secara langsung menekan upah dan memperlebar jurang ketimpangan.
Stiglitz juga menilai AI mengancam integritas informasi dan modal budaya yang menjadi dasar mobilitas sosial. Ini disebabkan oleh pencurian modal intelektual. AI dilatih dengan mengambil data dan konten dari entitas lain (seniman, jurnalis, penerbit) tanpa kompensasi yang adil, mirip dengan praktik sweatshop di ranah ide. Hal ini mengikis insentif bagi penciptaan konten berkualitas dan merusak ekosistem informasi.
Dengan menguasai model AI, Big Tech menjadi juru kunci yang mengontrol akses ke pengetahuan dan informasi berharga. Ini menciptakan bentuk asimetri informasi baru yang jauh lebih kuat, memungkinkan monopoli untuk terus memanipulasi pasar dan politik, sekaligus memblokir mobilitas bagi mereka yang tidak memiliki akses ke “kunci” digital ini.
Selaras dengan semangat Freire yang menyerukan perubahan struktural melalui kesadaran, Stiglitz menggarisbawahi perlunya intervensi kebijakan yang radikal, Misal, lewat regulasi cepat. Stiglitz menyoroti inovasi AI di sektor swasta jauh lebih cepat daripada antisipasi lewat kebijakan publik.
Diperlukan regulasi yang komprehensif (misalnya Uni Eropa dengan Digital Markets Act) untuk memastikan AI digunakan demi memecahkan masalah global, bukan hanya bertujuan menghasilkan keuntungan korporasi.
Ia mengadvokasi sistem pajak yang lebih kuat terhadap monopoli Big Tech dan para super-kaya untuk membiayai modal sosial (seperti pendidikan dan jaring pengaman) yang rusak akibat AI. Ini adalah conscientização dalam tindakan: menggunakan kekuatan politik untuk mendistribusikan kembali kekuasaan dan kekayaan yang diperoleh secara tidak adil.
Kritik ini menyimpulkan bahwa AI, tanpa regulasi yang setara, hanyalah perwujudan terbaru dari sistem yang didesain untuk memperkaya segelintir orang dan memblokir kesempatan bagi banyak orang—sebuah diagnosis yang sepenuhnya sejalan dengan etos Freirian.
Stiglitz mengajarkan kita satu hal: kebenaran struktural akan selalu memiliki harga. Harga sosial yang harus dibayar masyarakat karena membiarkan Ketimpangan Ekstrem merajalela, adalah harga yang harus dibayar oleh setiap individu. Ketika kita memahami bahwa trisula krisis ini adalah hasil desain, bukan takdir, kita tahu pembebasan dimulai dengan perubahan kebijakan.
Ketika suatu saat Anda nonton video yang dengan fasih membedah keruntuhan sistem, tapi mendukung solusi naif seperti memojokkan si kaya, ingat hal ini: Kesadaran kritis selalu menarget sistem. Ia menyasar perubahan struktur, mengobrak-abrik status quo lewat kebijakan yang radikal.
