Rekor semu hype AI
Rekor dunia pelatihan AI untuk guru di Sumsel ini memang bisa menjadi simbol politik berharga. Namun, ada jurang antara narasi kolosal yang ingin kita dengar dengan kenyataan yang tak membanggakan.
Panggung Griya Agung telah terpasang, sorot lampu menyorot, dan riuh tepuk tangan memecah langit. Sebuah perhelatan megah mengklaim 25.000 guru—termasuk dari luar Sumatera Selatan—dalam satu event hybrid, pelatihan massal yang mengukir nama Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam kitab Guinness World Records.
Rekor itu berbunyi “penyelenggara pelatihan Artificial Intelligence (AI) terbesar di dunia”. Gubernur Sumsel, Herman Deru, menyambutnya dengan bangga, menyatakan ini adalah warisan penting (legacy) agar guru menjadi “pengendali teknologi, bukan korbannya“.
Momen ini terasa seperti melihat foto dengan filter paling dramatis di Instagram. Gambarnya menakjubkan, engagement-nya tinggi. Tapi, di tengah klaim kemegahan, ada fakta low-res dan mengganggu: Berita resmi dari Pemprov Sumsel sendiri mencatat bahwa guru yang berpartisipasi hanya berjumlah 12.003 orang (web resmi Pemprov Sumsel).
Lalu, di mana sisa 12.997 guru lainnya? Apakah mereka guru dari luar Sumsel yang “dipinjam” untuk keperluan rekor, ataukah mereka hanya sekadar angka absensi virtual yang menguap? Pertanyaan krusialnya: Apakah “rekor” ini adalah substansi kemajuan, atau hanya sebuah tiruan sempurna dari kemajuan itu sendiri? Inilah celah yang harus kita bedah.
Perbedaan angka ini cuma contoh kecil bahwa kita hidup di alam post-truth politik pendidikan dan teknologi. Ia jadi semacam simulacrum, tanda yang hadir seolah-olah merepresentasikan realitas, tetapi sejatinya ia adalah tiruan tanpa model orisinal yang solid. Begitu kata Jean Baudrillard (1981).
Rekor dunia ini adalah sebuah tanda (sign) yang kuat (25.000 peserta) untuk mengklaim Indonesia “unggul” dalam pendidikan AI. Namun, ketika data internal Pemprov menyebut angka berbeda (12.003 peserta), kita menyadari rekor ini cuma hiper-realitas: Realitas yang diciptakan oleh media dan narasi politik yang lebih penting daripada realitas faktual di lapangan.
Kegilaan terhadap segala berbau AI belakangan ini bikin jidat berkerut. Barusan ada berita tentang “Indonesia Merdeka AI” dengan ajakan membangun kedaulatan di bidang AI. Lalu ada digital AI commerce offline di Bali. Nanti, ada ajang bertajuk “AI for Indonesia” yang mendorong adopsi dan kolaborasi AI secara inklusif, dan bertanggung jawab.
Seolah ada orkestrasi multinasional dengan tiga pemain utama: (1) Korporasi teknologi raksasa global (The Giants). Perhatikan siapa sponsor utama dalam Indonesia AI Conference atau World AI Show Indonesia (seperti Alibaba Cloud, Tencent Cloud, atau cloud service providers lainnya).
Mereka ingin menciptakan pasar bagi produk cloud dan Generative AI mereka. Konferensi adalah “pembuka keran” agar pemerintah dan perusahaan lokal mengadopsi solusi mereka. Ini adalah business development yang dikemas dalam seminar ilmiah, seperti yang terlihat pada peluncuran Model Studio: Exclusive oleh Alibaba Cloud di salah satu konferensi.
Lalu ada (2) lembaga policy maker dan pemerintah. Badan seperti KORIKA (Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial) dan kementerian terkait melihat konferensi sebagai platform strategis untuk dua hal. Pertama, Diplomasi AI, menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia serius dalam regulasi dan inovasi AI, seperti ditekankan Menteri Komdigi.
Kedua, pengarusutamaan Visi Indonesia Emas 2045, di sana AI diposisikan sebagai katalis pertumbuhan ekonomi 10 kali lipat. Mereka adalah sutradara yang menggunakan hype untuk melegitimasi roadmap kebijakan.
Kemudian ada (3) konsultan global dan event organizer. Entitas seperti Trescon yang membawa World AI Show dari mancanegara ke Jakarta, atau lembaga lokal seperti Algoritma, sebagai makelar yang menghubungkan The Giants dengan Policy Maker dan end-user (para guru, developer, dan startup).
Tujuan mereka menciptakan ekosistem—dan tentu menghasilkan laba dari jualan tiket serta sponsor. Rekor dari Sumsel ibarat FOMO dari pementasan besar. Ia menciptakan simulacrum tentang “kesiapan” pendidikan kita. Sementara itu The Giants dan Policy Maker duduk manis menunggu kontrak.
Coba kita touch the grass sejenak, menengok kenyataan kontradiktif di antara angka 25.000 atau 12.003, dengan ketersediaan infrasturktur serta kondisi obyektif kita hari ini. Misalnya soal fondasi infrastruktur AI, yang lebih pas kalau kita gambarkan sebagai “Mengajar Kapal di Darat”.
Pengen punya otak aja sulit
Suatu ketika saya bertanya pada keponakan yang masih SD, “Kalau kamu mau mikir, kamu pakai otak siapa?” Ia menatap saya bingung, dahi kecilnya berkernyit, mengira saya sedang bercanda. Tapi pertanyaan itu tidak main-main. Karena saat ini, dalam hal berpikir digital—membangun akal imitasi, menyimpan data, menjalankan alg…
Klaim sebagai pionir AI muncul di tengah realitas infrastruktur yang pincang. Indonesia, khususnya daerah, masih jauh dari memiliki ekosistem hulu AI yang kuat. Kita bahkan tak punya model Generative AI (GenAI) hasil pelatihan mesin dan data lokal yang memahami konteks budaya dan khas Indonesia.
Kita pernah bahas soal infrastruktur yang kita sewa. Saat data center yang beroperasi di Indonesia berbendera asing, dan semua chip komputer AI juga made in asing. Peredaran chip dan kebijakan pengelolaan data center itu, praktis ada di tangan asing. Kita tak punya kedaulatan soal itu.
Pelatihan AI masif tanpa menjamin guru memiliki akses rutin ke data center memadai atau koneksi internet stabil, seperti mengajarkan cara berlayar kepada nakhoda, tetapi kapalnya terbuat dari pelepah pisang. Rekor ini hanya menjadi pencitraan kosmopolitan jika tindak lanjutnya kosong. Infrastruktur dan literasi data seharusnya menjadi prioritas.
Pelatihan dengan jumlah sebesar itu, 25.000 atau 12.003 guru, efektivitasnya perlu dipertanyakan. Pelatihan masif melalui webinar hybrid dengan jumlah peserta yang amat besar itu mengundang tanda tanya. Ilmu pedagogi atau andragogi menekankan bahwa pembelajaran transformatif memerlukan interaksi, umpan balik personal, dan praktik terstruktur.
One-shot training yang mengejar rekor cenderung menghasilkan literasi permukaan (surface literacy). Guru mungkin tahu cara membuka ChatGPT atau aplikasi GenAI populer lain, tapi tak mampu mengintegrasikannya secara kritis dalam kurikulum. Koding dan KA yang dikenalkan pun, bukan pelajaran wajib bagi sekolah. Artinya, guru belum tentu bisa mengoptimalkannya.
Tantangan ini diperparah dengan fakta bahwa literasi digital Indonesia secara umum masih rendah, dengan dorongan Komisi X DPR RI untuk fokus pada daerah 3T setelah hasil PISA 2022 yang kurang memuaskan. Sejumlah survei terhadap indeks literasi digital Indonesia menunjukkan kita ini pas-pasan.
Sejatinya, prioritas kita kualitas implementasi. Guru harus menjadikan AI “teman mengajar“, bukan sekadar pengguna, kata Pepita Gunawan dari REFO. Mengubah angka kolosal menjadi kemampuan nyata butuh mentoring dan komunitas praktik yang intensif, bukan sekadar sertifikat rekor yang rentan terhadap debat kusir ihwal perbedaan data.
Rekor dunia pelatihan AI untuk guru di Sumsel ini, memang bisa menjadi simbol politik yang sangat berharga—terlepas dari debat angkanya. Ia berhasil memantik kesadaran masif (yang sebelumnya low-res) di kalangan guru dan memberikan modal hype luar biasa untuk menarik perhatian parapihak.
Namun, rekor ini juga adalah alarm berisik. Perbedaan angka peserta mengingatkan kita bahwa ada jurang antara narasi kolosal yang ingin kita dengar dan fakta rinci yang harus kita hadapi. Tujuan utama hype serba AI ini adalah transaksi: pertukaran citra politik dengan pasar teknologi.
Tugas sesungguhnya adalah mengubah simulacrum ini menjadi nyata. Itu artinya, fokus harus bergeser dari mengumpulkan ribuan peserta menjadi memastikan setiap guru memiliki akses yang layak, mentoring berkelanjutan, dan kompetensi mendalam untuk melahirkan generasi emas bangsa.
Kita sudah menyaksikan pertunjukan yang memukau dan menghitung angkanya dua kali. Kini, kita menanti bahwa filter Instagram itu dilepas, dan kemajuan yang sejati serta jujur benar-benar terjadi di setiap ruang kelas, bukan hanya di atas panggung rekor.
