Politik ini-sial
Puncak komedi di sini adalah tawa meringis menghadapi sistem politik yang telah memaksa dirinya menjadi sangat kekanak-kanakan hanya agar tetap terlihat relevan.
Tanyakanlah pada Mbah Google, mesin pencatat sejarah yang lebih jujur dari para politisi: Apa yang paling laku di tahun 2025? Jawabannya bukan lagi janji kampanye yang menguap seperti embun pagi, melainkan spektakel—gimmick yang disulap menjadi meme. Gimmick roti lapis dengan tumpukan ironi sosial, ironi strategi, dan comoedia absurda.
Bayangkan adegan ini, mimpi buruk yang tayang pada prime time: Sebuah partai—sebut saja Partai Tirai Bambu (karena suka menyembunyikan wajah di balik sandi)—menggelar konferensi pers. Cahaya ring light menyilaukan, dan kamera ponsel berdesing. Lalu, mereka umumkan: “Ketua Dewan Pembina: Tuan M. Ketua Harian: Nyonya K. Sekjen: Sdr. A-Z (dibaca: Azek).” Sontak, semesta media sosial bergoyang.
Para netizen—anak-anak digital yang jiwanya terbuat dari meme dan kuota data—mulai berburu. Siapa Tuan M itu? Apakah ia Manusia Misterius? Matahari? Atau sekadar Mangkok Bakso yang kehilangan kuah? Energi publik, yang harusnya fokus pada depresiasi rupiah atau krisis iklim, ditarik ke dalam teka-teki receh ala kuis berhadiah.
Inilah berita absurd asli Indonesia: Lelucon yang dikemas seolah-olah rahasia negara. Padahal ini nggak ada urusan dengan protokol kenegaraan, tapi ritual unboxing kepengurusan baru. Bila unboxing lazimnya jadi syarat agar mudah komplain, kali ini tidak: Unboxing ini memancing perhatian lewat misteri.
“Hidup memang panggung sandiwara”, kata Erving Goffman tentang Manajemen Kesan (Impression Management). Bukan, dia bukan personel God Bless. Goffman menunjukkan bahwa Manajemen Kesan adalah alat kontrol sosial yang kuat. Dengan inisial misteriusnya, Partai Tirai Bambu, sedang mengelola kesan di level yang paling caper dan terang-terangan.
Inilah lapisan ironi kita yang pertama. Inisial seperti Tuan M dan Nyonya K adalah clickbait, “teka-teki silang politis” yang mengumpan media dan publik untuk bertanya-tanya. Tujuannya bukan untuk menjamin transparansi—jika itu tujuannya, mereka akan memasang dashboard pembukuan partai secara real-time. Tujuannya adalah visibilitas.
Di era ini, aset paling berharga bukanlah emas atau minyak, melainkan perhatian (attention). Fenomena yang oleh Herbert A. Simon dinubuatkan sebagai Attention Economy: Saat nilai informasi diukur dari seberapa banyak waktu dan perhatian yang bisa ia curi. Taktik penarik perhatian pada sensasi recehan, alih-alih pada isu yang lebih substansial.
Partai Tirai Bambu tahu, di tengah hiruk-pikuk puluhan partai yang berebut suara, mereka harus menciptakan hype agar mereka tetap relevan. Mereka memaksakan diri masuk ke dalam feed TikTok dan X, bahkan jika harus tampil konyol. Anak-anak internet menyebutnya attention whore.
Fenomena yang jamak ditemukan di pop culture. Kita mengenal banyak musisi dengan inisial atau influencer dengan nama samaran. Namun, di dunia pop culture, inisial itu aesthetic dan menjual citra diri. Di dunia politik, ia menjual kebingungan yang disengaja. Ciri khas era Post-Truth, saat fakta objektif kurang mempengaruhi opini publik dibandingkan daya tarik emosional
Partai yang menggunakan inisial itu sedang berteriak, ‘Lihat aku! Aku ada! Aku berbeda!’ Mereka paham bahwa publik saat ini, khususnya Gen Z, lebih tertarik pada teka-teki dan misteri daripada pidato panjang tentang ideologi. Ini adalah strategi viralitas absurd, saat spekulasi menjadi mata uang politik.
Penggunaan inisial adalah strategi diferensiasi yang murah (modalnya cuma huruf alfabet)—kalau tidak mau disebut murahan—tapi menghasilkan ROI (Return on Investment) perhatian yang fantastis. Mereka mau menciptakan FOMO (Fear of Missing Out) politik: rasa takut bagi media dan publik jika ketinggalan gosip terpanas tentang siapa sosok di balik M atau K.
Mereka telah mengubah politik menjadi mini-seri thriller yang episodik, di mana setiap inisial adalah teaser yang ditunggu pengungkapannya. Tapi, siapa yang bakal peduli? Banyak. Cerita sensasional lebih mencuri perhatian, daripada, misalnya, tokoh rangkap jabatan yang melanggar Undang-undang. Ini, adalah lapisan ironi kedua.
Yang bikin lebih meringis adalah bagaimana jabatan Dewan Pembina, yang seharusnya merupakan singgasana kebijaksanaan dan martabat, kini direduksi menjadi sekadar inisial yang gimmicky. Posisi yang mewakili ‘roh’ dan ‘sejarah’ partai kini tampil seperti spoiler film superhero yang bajakannya sudah bocor di situs-situs streaming ilegal atau torrent penampung berkas digital.
Tibalah kita pada ironi terakhir, comoedia absurda. Sosok ‘Pembina’ lazimnya adalah The Wise Old Man (arketipe Jungian), penentu arah moral. Bandingkan saja sosok di posisi itu dari partai sebelah. Namun, sandi Tuan M disulap jadi karakter misteri dalam game detektif. Intinya: Bentuk lebih penting daripada isi. “Sensasi di atas substansi”, kata eks aktivis ‘98.
Langkah ini menegaskan sebuah pesan bawah sadar yang gelap: Partai tidak lagi menjual ideologi, tapi sensasi. Dan sensasi, menurut tren 2025, cepat basi. Kalau basi, tak bisa lagi dikonsumsi karena makanan bergizi pun berubah jadi racun. Inilah biaya yang harus dibayar: Menyusutnya kualitas diskursus.
Kita menghadapi degradasi arketipe. Ketika media dan publik sibuk mengulik dan berasumsi tentang identitas Tuan M dan Nyonya K, mereka melupakan hal esensial: Apa program kerja Partai Tirai Bambu dalam menghadapi krisis pangan? Apa solusi mereka untuk pengangguran Gen Z? Ruang diskursus itu malah diisi gosip, bukan gagasan.
Partai-partai ini, dalam upayanya meraih perhatian instan, sengaja atau tidak, telah berpartisipasi dalam peluruhan demokrasi. Mereka mendidik publik bahwa politik adalah permainan tebak-tebakan yang lebih seru di tengah nasib konstituen yang tak menentu. Mereka mengubah arena politik menjadi kolam dangkal tempat berburu kecebong yang belajar berenang.
Gen Z, yang konon pemilih rasional dan kritis, mungkin awalnya tertarik. Cepat atau lambat mereka akan mengalami Attention Fatigue—kelelahan terhadap konten politik yang sebatas gimmick. Saat setiap gerakan adalah konten, partai kehilangan kemampuannya untuk berdialog secara tulus, karena fokusnya hanya satu: Menunggangi algoritma.
Maka, hadirin sekalian, inilah akhir dari episode Drama Inisial. Ketika sudah menjadi nama utuh, mereka akan mencari episode baru. Siklusnya terus berputar: Misteri > Hype > Pengungkapan > Kebosanan. Kalau penonton jeli, inisial itu tidaklah misterius. Sudah ada sejak 2014. Kader Partai G yang hijrah ke Partai N dan sekarang nangkring di Partai P. Sesuai urutan abjad. Mungkin nanti kariernya berakhir di Partai Z.
Caper, kini bukan lagi penyakit, melainkan metode tunggal untuk bertahan hidup di ekosistem politik digital yang kejam. Partai Tirai Bambu tidak bodoh; mereka hanya pragmatis dan ngeslot (sangat kalkulatif). Mereka memilih untuk menjadi badut yang diingat daripada filsuf yang dilupakan.
Mereka sukses, sesaat. Menjadi pembicaraan. Tapi, gimmick ini adalah kredit bank politik dengan suku bunga yang sangat tinggi. Setelah sensasi berlalu, ekspektasi publik akan melambung: Berharap bahwa sosok di balik Tuan M atau Nyonya K itu benar-benar misterius dan Rrvolusioner.
Jika ternyata mereka hanyalah medioker biasa, pemain lama yang anak TK juga sudah tahu siapa, kekecewaan publik akan berlipat ganda. Itulah harga yang dibayar bila manggung dengan alur cerita ketebak, skenario diulang-ulang berharap hasil baru, penonton dianggap buta terhadap pola.
Panggung politik kita hari ini adalah pentas absurd yang dipimpin aktor-aktor inisial yang sebenarnya ya itu—itu saja. Tugas kita sebagai penonton adalah menertawakan mereka dengan cerdas, dan menuntut sesuatu yang lebih nyata dari sekadar akrobat belaka.
