Penjilat
Arena sosial kini telah berubah. Nilai-nilai universal tentang kehormatan dan keahlian menjadi komoditas di pasar malam. Integritas tidak laku. Orang bisa meretas kekuasaan dengan modal membual.
Tuan-puan, ini bukan sekadar zaman edan. Ini panggung pementasan moral yang diganti dengan balet oportunisme. Lampu sorot kekuasaan kini disetel begitu terangnya hingga bayang-bayang etika terhapus total, meninggalkan kita dalam kenyataan yang terlalu jernih dan, karenanya, terasa palsu.
Fenomena paling absurd telah muncul: pengakuan dosa telah diundangkan sebagai pengumuman prestasi. Ini adalah salah satu absurditas paling absurd yang pernah saya temukan. Badut-badut di panggung post-truth saya pikir cukup absurd, ternyata belum. Saking absurdnya, otak saya sempat menolak berpikir. Masih belum yakin benar, apakah ini nyata atau mimpi.
Pernyataan blak-blakan seorang mantan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, adalah bukti sempurna. Ketika dikritik sebagai “penjilat” karena pujian hiperboliknya terhadap pidato presiden, ia tidak menampik. Sebaliknya, ia membalas dengan bangga, seolah sedang melakukan ritual pembatalan moral di tengah linimasa:
“Yang saya jilat menang dan berkuasa. Yang Anda jilat kalah dan ga berkuasa. Sekadar jadi penjilat pun Anda kurang kompeten...”
Pernyataan ini adalah penanda bahwa hukum moral telah dicabut dari arena publik. Nasbi secara efektif mengumumkan bahwa “menjilat” telah menjadi kompetensi strategis—kemampuan mengidentifikasi kuda yang tepat untuk ditunggangi, foresight politik yang mahal. Investasi ini berbuah kemenangan, dan kemenangan menjadi sertifikat kompetensinya.
Fenomena ini mengingatkan kita pada Kapital Simbolik yang dijelaskan sosiolog Pierre Bourdieu. Kapital Simbolik adalah prestise, kehormatan, atau otoritas yang melekat pada seseorang. Asalnya dari modal lain yang telah menyublim, memberi legitimasi di mata pemain lain dalam arena sosial.
Ini seperti mendapatkan Centang Biru di Twitter sebelum centang biru itu bisa dibeli dengan uang tunai. Kapital Simbolik, adalah hasil konversi dari tiga bentuk modal lain: Ekonomi, Sosial, dan Kultural (“The Forms of Capital”). Ketiganya dapat diubah atau dikonversi menjadi satu sama lain.
Semua modal, pada akhirnya dapat dikonversi menjadi Kapital Simbolik. Misalnya begini, Kapital Ekonomi menjadi Budaya saat punya uang untuk membayar sekolah bagus dan mahal. Kapital Sosial bisa menjadi Ekonomi saat koneksi digunakan untuk mendapatkan pekerjaan atau proyek bernilai tinggi.
Salah satu atau gabungan dari ketiga kapital bisa diubah menjadi Kapital Simbolik saat modal-modal tersebut yang berhasil dikumpulkan (misalnya, gelar dari universitas bergengsi—Kapital Budaya tinggi) diubah menjadi pengakuan dan otoritas di mata masyarakat (Kapital Simbolik).
Dalam paradigma lama, Kapital Simbolik (seperti jabatan publik atau pengakuan status otoritatif di media sosial) adalah akumulasi Kapital Kultural (kompetensi, keahlian) dan Kapital Sosial (integritas, kepercayaan) yang kuat. Seseorang dianggap layak menjabat karena kompeten, jujur, dan berintegritas.
Dulu, akun-akun medsos yang konsisten membangun reputasi, dan mendapat pengakuan tak tertulis dari pengikutnya, diberi gelar akun yang verified, layak mendapat Centang Biru. Saat itu, misal di Twitter, Centang Biru tidak diperjualbelikan. Anda harus layak untuk menyandang status itu.
Namun, arena sosial kini telah berubah—terutama dengan komodifikasi platform digital. Nilai-nilai universal tentang kehormatan dan keahlian seolah menjadi pasar malam. Integritas tidak laku. Kapital Ekonomi kini dapat secara langsung dipakai untuk membeli Kapital Simbolik.
Kapital Ekonomi seharusnya menjadi alat investasi untuk membangun kompetensi (pendidikan) dan kepercayaan (kejujuran) secara etis, bukan untuk membeli pengakuan atau otoritas secara langsung (menyogok). Tapi sogokan pun kini punya dua muka, “sogokan risywah” dan “sogokan hasanah”.
Lihatlah akun Centang Biru di X, berbekal uang bisa dengan terang-terangan menyebarkan hoaks; atau konten lain yang melanggar etika, bahkan yang melanggar hukum. Makin banyak komplain, katanya, linimasa X kian toksik. Ironisnya, Nasbi bahkan tak perlu menampilkan Centang Biru di akunnya.
Menjilat hingga sundul langit berhasil meretas modal sosial, dengan mengesampingkan etika maupun integritas. Padahal, perilaku yang etis dan berintegritas, adalah modal sosial yang penting. Namun, karena penguasa pun tak hirau dengan itu, Kapital Simbolik bisa disematkan pada mereka.
Lalu apakah yang disanjung sebenarnya layak dapat sanjungan? Kabar terakhir, foto Presiden Prabowo satu bingkai dengan Presiden AS, Donald Trump, PM Israel Benyamin Netanyahu, dan Presiden Otoritas Nasional Palestina, Mahmoud Abbas, beberapa pemimpin negara Arab. Foto itu diprakarsai oleh Abraham Shield (Perisai Abraham).
Ada lagi yang lebih gelap: Kekuasaan dipakai melegitimasi ketidakbermoralan. Bukan hanya modal yang terbalik, tapi logika legitimasi pun ikut terbalik: Dulu (lazimnya) Anda punya integritas dan kompetensi, Anda dapat jabatan. Kini, Anda bisa menjilat, atau membayar, dan Anda dapat jabatan.
Lalu Anda bisa menggunakan jabatan itu untuk menertawakan integritas orang lain. Artinya, kekuasaan telah menjadi sertifikat amoralitas. Ia bukan lagi hadiah bagi yang kompeten, tapi imunitas bagi yang oportunis. Nasbi adalah self-portrait dari imunitas itu.
Transformasi nilai yang kita saksikan mengarah pada rapuhnya Kapital Simbolik para pemangku kekuasaan. Pemerintahan yang dijalankan orang-orang tidak kompeten ini, menyandang legitimasi palsu. Inilah inti kritik Bourdieu tentang bagaimana masyarakat “dipaksa” menerima kepalsuan.
Kita seperti menonton dongeng klasik H.C. Andersen, “The Emperor’s New Clothes,” yang dimodifikasi untuk abad ke-21. Ketika Sang Anak berteriak, “Kaisar telanjang!”, sementara Sang Menteri dan penjilat tidak merasa perlu untuk malu. Mereka malah membalas, seolah meledek hantu idealisme:
“Hei, bocah! Stop bicara integritas, inilah kenyataan otoritas. Gelar dan jabatan kami telah mensucikan setiap langkah kami. Moralitasmu tidak laku di pasar ini. Kekuasaan kami adalah satu-satunya kebenaran yang diakui!”
Kebanggaan akan kekejaman pragmatis ini menciptakan preseden berbahaya, terutama bagi Generasi Z yang tumbuh dalam lingkungan media sosial yang kejam. Ketika seorang figur publik dari lingkaran kekuasaan dapat mengubah shame menjadi skill, ini secara langsung menormalisasi oportunisme.
Gen Z yang idealis namun rentan anxiety melihat ketidakpastian masa depan, menangkap pesannya sebagai: Integritas itu beban, kemenangan adalah mata uang. Tindakan Nasbi, secara efektif mengkampanyekan auto-immune terhadap shaming publik—dengan bangga mengenakan label “penjilat”.
Kita dihadapkan pada sebuah konklusi yang jujur namun brutal dan absurd tentang kehidupan sosial kita: Di Indonesia 2025, menjadi penjilat kini menerima semacam Sertifikat Kompetensi Gaib.
Sertifikat itu tidak dicetak di atas kertas, melainkan diukir di kulit wajah, bersinar setiap kali kekuasaan dipanen, dan hanya bisa dibaca oleh mereka yang setuju bahwa realitas adalah lelucon yang tak perlu ditertawakan. Sertifikat itu bernama Kemenangan.
Menjadi pejabat publik, seharusnya pengakuan langsung atas kompetensi sekaligus integritas. Asumsinya, jabatan publik bukan jabatan yang bisa Anda beli di pasar. Ia pengakuan bahwa Anda layak. Pengakuan tersebut secara konstan akan diuji oleh publik, melalui tuntutan atas transparansi.
Pertanyaannya bukan lagi, apakah kita akan menghakimi Tuan Nasbi. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan biarkan kemampuan melayani outcome ini menjadi kualifikasi utama memasuki gerbang kekuasaan?
Ataukah kita masih punya sisa energi untuk menyalakan nalar etika di tengah pesta pora kegelapan yang menyilaukan ini?

