Opini Publik 2.0
Sandel selalu bilang, demokrasi butuh warga yang mau mikir bareng soal tujuan. Kalau semua cuma terjebak debat kusir, demokrasi tinggal nama.
Coba buka ponsel Anda. Lima menit saja main medsos. Yang muncul apa? Meme receh, gosip artis, politikus saling ejek, berita heboh yang belum jelas benar atau bohong. Dalam sebuah seretan konten rekomendasi bahkan diisi video-video seronok pemancing rasa penasaran. Jarang sekali muncul yang bikin hati adem. Itu memang bukan kebetulan.
Itu resep. Algoritma tahu betul kalau manusia lebih betah diaduk emosinya ketimbang diberi kuliah statistik. Bukan cuma politikus yang saling ejek, warga pun gampang dipancing komen. Twitwar yang legendaris di linimasa X, biasanya dihiasi caci maki, meributkan sesuatu yang sejak awal memang niatnya pengen bikin ribut.
Michael Sandel, filsuf Harvard yang terkenal kelasnya rame kayak konser, sudah lama mengeluh soal debat publik. Katanya, debat politik modern itu mirip talk show infotainment: Penuh suara keras, minim isi. Orang lebih sibuk menonjok lawan, bukan mencari jawaban. Kalau Sandel hidup di Indonesia dan buka Twitter (eh, X), mungkin dia langsung pingsan.
Selama ini kita pikir opini publik itu semacam rapat RT skala nasional. Semua orang ngomong, lalu ada titik temu. Seperti kata para filsuf sosial klasik, opini publik itu dulunya dipandang serius sekali. Ada versi Habermas yang membayangkan warga negara duduk manis di forum, berargumen dengan nalar, lalu menemukan konsensus mulia.
Ada pula versi Herman dan Chomsky yang lebih sinis: Publik hanyalah sasaran propaganda, kawanan yang diarahkan oleh media dan elite. Dua-duanya elegan, tapi terdengar seperti cerita dari zaman ketika surat kabar masih jadi primadona. Hari ini, realitas sudah jauh lebih absurd.
Publik kita lebih sering terbentuk oleh TikTok 15 detik daripada debat panel dua jam. Tagar “#Boikot” bisa membuat perusahaan keringat dingin lebih cepat daripada liputan investigasi panjang. Meme receh dari akun anonim bisa lebih memukul citra politikus ketimbang editorial surat kabar nasional.
Di titik ini, kerangka Habermas dan Chomsky agak gagap. Deliberasi rasional? Sulit, kalau argumen politik dibungkus dengan efek suara ayam berkokok. Manipulasi top-down? Setengah iya, setengah tidak, karena terkadang justru akun tanpa nama dan tanpa modal iklan bisa menciptakan gelombang emosi yang menyaingi agensi PR miliaran.
Di sinilah Merlyna Lim menawarkan pembacaan baru yang lebih nyambung dengan fakta kekinian. Ia menyebut bahwa opini publik yang dibentuk algoritma bekerja bukan hanya lewat ide atau argumen, tapi terutama lewat afek—emosi, kegembiraan, kemarahan, kecemasan—yang berputar balik tanpa henti, dibungkus dalam praktik keseharian digital.
Opini publik yang kita lihat bukan lagi “the people deliberating” atau “the people manipulated,” melainkan “the people trending.” Rasionalitas kalah oleh lucu-lucuan, propaganda bercampur dengan spontanitas. Opini publik berubah jadi kontes siapa paling cepat bikin marah atau ngakak berjamaah.
Kini kita hidup di “Public Sphere 2.0.” Kedengarannya keren, futuristis, seperti pemutakhiran aplikasi. Padahal seringkali artinya sederhana: Opini publik kini dipanen, dikemas, dan dijual oleh platform. Versi 2.0 bukan soal partisipasi yang lebih matang, tapi sekadar publik yang lebih mudah dimonetisasi.
Itulah Opini Publik 2.0. Lim menyebut ada tiga hal yang bikin dunia maya jadi semacam pasar malam emosi. Pertama, afek. Viral itu bukan soal benar atau salah, tapi soal siapa yang paling bikin orang naik darah atau ngakak sampai jatuh dari kursi lalu gegulingan di lantai.
Kedua, dinamika rekursif. Konten bikin reaksi, reaksi bikin algoritma makin doyan, lalu keluar konten serupa. Kaya tukang sate yang makin rajin kipas karena asapnya bikin orang lapar. Ketiga, praktik vernakular: Hal-hal remeh temeh yang kita lakukan sehari-hari—klik, like, share, komen—sebenarnya seperti tetesan air yang lama-lama jadi banjir bandang.
Dalam nada akademik, Lim lebih “deskriptif–analitis” daripada “normatif–solutif.” Ia menggeser bingkai konseptual agar peneliti, jurnalis, maupun warga tidak lagi terjebak pada imajinasi lama. Dengan kata lain: Dia menawarkan lensa baru, bukan obat mujarab.
Alih-alih mencari “suara rakyat murni” seperti dalam mimpi Habermas, atau hanya mengeluh tentang “manipulasi media” ala Chomsky, Lim menyarankan untuk melihat opini publik sebagai hasil interaksi kompleks antara algoritma, afek, dan praktik sehari-hari pengguna.
Mungkin, saran Sandel bisa membongkar absurditas ini. Dia suka tanya: Apa tujuan dari sesuatu? Contohnya suling. Suling terbaik seharusnya dipakai oleh pemain suling terbaik, karena alasan eksistensi suling adalah dimainkan dengan indah. Logika sederhana.
Tapi kalau kita tanya ke media sosial: Apa tujuannya? Jawabannya bikin kita miris. Tujuan medsos ternyata memang bukan mencerahkan, apalagi mendewasakan publik. Tujuannya bikin kita betah, betah, dan betah—walau caranya dengan bikin kita kesal.
Sandel pernah bahas pegolf difabel, Casey Martin, yang ingin pakai mobil mini di lapangan. Ribut panjang sampai ke pengadilan, cuma gara-gara satu pertanyaan: Jalan kaki itu bagian esensial dari olah raga golf, atau cuma aturan tambahan? Nah, mirip kan dengan debat politik daring kita?
Orang ribut soal siapa capres paling nasionalis atau siapa paling islami, tapi jarang tanya: Apa sebenarnya tujuan kepemimpinan? Ujung-ujungnya debat jadi lomba teriak, bukan lomba pikir.
Algoritma jelas paham titik lemah kita. Dia tahu kita lebih cepat klik video emak-emak ngamuk di jalan daripada diskusi soal pajak karbon. Dia tahu kita rela scroll gosip artis semalaman, tapi ogah baca laporan APBN lima menit.
Lalu, tiap kali kita klik, kita pikir itu cuma iseng. Padahal, kata Lim, klik-klik kecil itu ibarat memasukkan koin ke mesin raksasa yang menentukan topik nasional. Satu like Anda bisa jadi sebutir pasir yang ikut mengubur isu penting di bawah lautan meme.
Sandel selalu bilang, demokrasi butuh warga yang mau mikir bareng soal tujuan. Kalau semua cuma terjebak debat kusir, demokrasi tinggal nama. Dan di zaman medsos, jebakan itu dilumasi algoritma sehingga makin lincah. Kita pikir sedang berdebat, padahal cuma jadi figuran dalam drama tak berujung.
Jadi, mungkin sudah waktunya kita berhenti ikut lomba adu teriak. Bukan berarti berhenti main medsos—susah, itu sudah jadi candu kolektif. Tapi setidaknya kita bisa coba satu trik sederhana: Sebelum klik, tanya dulu, “siapa yang untung kalau saya marah atau ngakak sekarang?”
Kalau jawabannya bukan diri sendiri, mungkin lebih baik taruh ponsel sebentar, tarik napas, dan… ya, mungkin coba tonton lagi video presentasi Sandel atau baca lagi artikel Merlyna Lim.
Sekarang jempol kita bukan cuma bikin trending, tapi juga memandu ke arah mana sebagai bangsa. Mau terus jadi komedi gelap algoritma, atau balik ke panggung musyawarah? Kalau jawabannya tetap “komedi gelap”, ya tidak apa-apa. Toh algoritma senang, pemilik platform makin kaya, politisi punya panggung sirkus gratis.
Sementara kita semua dapat hiburan harian tanpa perlu bayar tiket. Demokrasi mungkin berantakan, tapi setidaknya linimasa kita tidak sepi.
