Merdeka dari algoritma!
Adaptasi adalah perilaku yang menjadi ciri khas ranah fauna. Ketika perilaku ini memanifestasi pada manusia, ia menjadi simptom dehumanisasi.
Dalam tulisan “Menjadi tak terduga”, saya merasa perlu menjelaskan lagi tentang frasa “menjadi Subjek yang tidak terduga”. Frasa itu tampak sederhana, tapi sebenarnya konsepnya mendalam. Paulo Freire mengulasnya secara serius lewat esai “Masyarakat dalam Transisi” (Society in Transition, 2021). Tentang periode saat signifikansi nilai-nilai lama bertransformasi.
Transformasi ini bukan sekadar pergantian tahun atau pertambahan umur; ia adalah ultimatum sosiologis. Jika kita gagal naik ke level refleksi yang memadai, kita tidak akan bisa berintegrasi secara sadar sebagai Subyek, tapi sekadar masuk jebakan adaptasi algoritma—diatur, dikendalikan, dan dimanipulasi oleh kapital yang nyaris tak terbatas—menjadi Objek.
Di internet kita disodori pilihan-pilihan oleh algoritma dengan dalih perferensi. Kalau seorang netizen sering browsing situs produk teknologi terkini, ia akan masuk keranjang Tech Enthusiasts; Saat doyan posting masakan, masuk ke kandang Cooking Enthusiasts; Begitu nge-like foto pemandangan, dilabel Outdoor Enthusiasts.
Pola perilaku dan niat yang terukur secara kuantitatif, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun disimpulkan secara implisit, akan didayagunakan oleh algoritma. Ia mengelompokkan pengguna ke dalam tipe audiens dengan kecenderungan minat, kebutuhan, atau niat belanja yang dapat diprediksi.
Maka apapun yang Anda lakukan di internet, akan ada yang memanfaatkan profil berdasarkan jejak digital itu. Profil yang diciptakan dengan preferensi, perilaku, dan niat yang terukur. Anda sebagai manusia senantiasa diukur, dikategorisasi, dihitung probabilitasnya, persis seperti diuraikan Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019).
Siapakah kita dalam skenario itu? Di persimpangan historis ini, pertanyaan yang lebih spesifik untuk dijawab adalah: Apakah Anda mau jadi Subjek yang menulis naskah sejarah, atau sekadar Objek yang diombang-ambingkan bugs dan kode buatan orang lain? Inilah lanjutan artikel sebelumnya: Kebebasan baru bisa diraih jika kita berani menjadi Subjek yang tidak terduga.
Untuk memahami pilihan genting ini, kita bisa pinjam tangga kesadaran Freire yang terentang dari Magis hingga Kritis. Yey, Freire lagi! Tiga pijakan ini pas—setidaknya menurut saya—untuk membekali kita saat menghadapi jebakan algoritma. Ia adalah cetak biru yang ditulis Freire lebih dari setengah abad silam untuk menjelaskan kaumnya di Brasil, tetapi selalu relevan dengan kita sebagai sesama negara “dunia ketiga”.
Pijakan paling bawah adalah yang Freire sebut sebagai Kesadaran Magis. Di sini, individu tidak mampu melihat adanya hubungan kausal antara peristiwa dan hidup mereka. Realitas dianggap sesuatu yang statis dan fatalistik, didikte oleh nasib, roh leluhur, atau kekuatan gaib di luar jangkauan. Dalam kondisi ini, mereka adalah Objek Paling Murni.
Eksistensinya hanya demi hidup (to live), sekadar bernapas dan adu nasib. Hoaks atau misinformasi dianggap “musibah”, kritik dituduh “konspirasi,” alih-alih bertanya, “Sistem apa penyebabnya?” Meminjam kalimat Buya Hamka, “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup.” Di mata algoritma, mereka adalah bidak paling stabil dan mudah diprediksi.
Dari kegelapan magis atau intransitif ini, kita bisa naik kelas ke Kesadaran Semi-Transitif yang bersifat naif. Ini adalah tahap yang sangat genting. Individu sudah mulai curiga, mulai mencari sebab-akibat, namun hasilnya terlalu menyederhanakan masalah. Mereka adalah Kritikus Penyederhana (The Simplifying Critic) yang melihat dunia hanya dalam dikotomi hitam-putih.
Dengan rumus “kita vs. mereka”, kondisi ini sangat mudah diperdaya oleh propaganda yang menyajikan solusi cepat dan musuh tunggal. Generasi dengan tingkat partisipasi politik yang tinggi di ranah digital, rentan nangkring di sini: Memiliki partisipasi yang vokal, tetapi tidak memiliki pembebasan sejati. Menjadi Objek yang “Berpura-pura sebagai Subjek”.
Jika energi pada tahap ini tidak di-upgrade, ia mudah tergelincir menjadi Irasionalitas Sektarian—sebuah fanatisme buta yang emosional, angkuh, dan anti-dialog. Bila dibiarkan akan menjelma menjadi Troll Fanatik dan Buzzer Berjubah Kebenaran di media sosial. Mereka merasa kritis, padahal tak ubahnya fanboy/fangirl fanatik pada idol yang salah.
Maka mereka harus memuncaki pijakan tertinggi: Kesadaran Kritis—kondisi Transitas Kritis yang sejati. Ini adalah satu-satunya pijakan yang mengubah kita menjadi Subjek Sejati yang Eksis (to exist). Di sini, kita tidak hanya protes tentang kemacetan, tapi mengerti bagaimana tata ruang, kebijakan pajak, dan bagaimana lobby korporasi properti serta otomotif berperan di dalamnya.
Kesadaran kritis menembus gejala, memahami hubungan kausal yang kompleks. Kita harus bisa melihat realitas bukan sebagai tembok yang sulit ditembus, melainkan tantangan yang harus diubah. Ini menuntut praksis—tindakan yang didasari oleh refleksi mendalam, yang diawali dengan dialog.
Ini adalah kemampuan berinteraksi dengan perbedaan pandangan tanpa harus menyerang, bersedia belajar dan mengajar secara simultan. Inilah inti dari dialogika sejati. Freire menegaskan, “Dialog bukan hanya tentang berbicara dan mendengarkan, tetapi tentang cinta, kerendahan hati, dan harapan.” Prinsip ini yang mendorong tindakan berdasar refleksi mendalam, yang menghasilkan sudut pandang atau keputusan terbaik.
Akhirnya, di tengah pusaran transisi, pilihan Objek atau Subjek adalah pilihan kesadaran. Dalam konteks kekinian, bisa diubah-sesuaikan menjadi Objek Digital. Itulah kita sebagai hasil dari profiling data, yang dikendalikan algoritma, dan percaya bahwa perubahan harus datang dari takdir (The Code), atau para elite yang punya privilige mengubah takdir.
Sebaliknya, Subjek Digital adalah kita yang menggunakan atau memanfaatkan algoritma, bukan dikuasai olehnya. Kita sadar bahwa pendidikan tidak mengubah dunia, tetapi bisa mengubah orang. Oranglah yang mengubah dunia, menjadikannya Subjek yang bertindak dan berani melancarkan praksis untuk membebaskan diri dari penindasan digital.
Maka dengarlah Freire: Integrasi diri dengan konteks, yang harus dibedakan secara tegas dari sekadar kepatuhan (adaptasi), adalah esensi dari aktivitas kemanusiaan. Integrasi adalah puncak dari kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan realitas sekaligus memiliki daya kritis untuk menetapkan pilihan dan mengubah realitas tersebut bila diperlukan.
Selama manusia kehilangan otoritas otonom untuk membuat pilihan sendiri, sebaliknya, disubordinasikan oleh pilihan orang lain (algoritma)—saat keputusan bukan berasal dari nalar sendiri melainkan dari resep-resep yang dipaksakan dari luar—manusia tidak lagi terintegrasi. Justru, ia telah beradaptasi secara pasif. Ia telah “dikondisikan.”
Ironisnya, individu yang tidak mau patuh, yang dihidupi oleh semangat revolusioner, justru dicap sebagai pihak yang “tidak bisa menyesuaikan diri.”
Padahal, pribadi yang terintegrasi adalah manusia sebagai Subjek yang otonom. Sebaliknya, pribadi yang pasif (adaptif) adalah manusia sebagai Objek, saat pilihan beradaptasi adalah bentuk pertahanan diri yang rapuh. Saat manusia merasa tak sanggup mengubah realitas, maka ia akan memilih untuk berkompromi dan menyesuaikan diri.
Freire dengan tegas menyebut, adaptasi adalah perilaku yang menjadi ciri khas ranah fauna. Ketika perilaku ini memanifestasi pada manusia, ia jadi simptom dehumanisasi. Sepanjang rentang sejarah, manusia senantiasa berjuang untuk menaklukkan faktor-faktor yang memaksanya untuk mengakomodasi atau menyesuaikan diri.
Ini adalah upaya—di tengah ancaman penindasan—untuk mencapai kemanusiaan secara utuh. Kita, khususnya generasi muda, punya potensi Transitas Kritis yang meluap. Jangan biarkan energi itu disia-siakan oleh belenggu Irasionalitas Sektarian. Ini topik berikutnya yang perlu diulas.
Pilihlah eksistensi sejati, hancurkan cermin narsisme digital. Sebab, hanya dengan kesadaran kritis, kita menjadi Subjek yang memastikan transisi ini membawa kita pada Pembebasan Kolektif, bukan pada kegilaan massal. Merdeka dari algoritma!