Jari maut netizen
Publik tak peduli bahwa tak pernah ada kontrak tertulis maupun lisan, yang mewajibkan—secara moral—seorang influencer peduli dengan sekitarnya.
Shrinkhala Khatiwada, mantan Miss Nepal 2018, merasakan kejamnya jari-jari maut netizen. Ia bukanlah korban pertama, dan tentu saja, tidak akan jadi yang terakhir. Kehilangan hampir 100.000 pengikut dalam seminggu—dari sekitar 1 juta menjadi 909 ribu—bukanlah perkara sepele. Itu adalah sebuah deklarasi perang digital tepat ke jantung popularitasnya.
Jari-jari itu, yang biasanya sibuk menyukai foto-foto estetis, tiba-tiba berubah jadi kepalan yang menggebrak panggung tempat sang idola berdiri. Rupanya ia dianggap tidak berpihak di tengah kekacauan yang melanda negerinya. Lebih buruk lagi, Shrinkhala dituduh bagian dari tren #NepoKid, alias peraih popularitas berkat koneksi orang tua.
Atribut Miss Nepal membawanya ke panggung internasional dan memberinya popularitas di Nepal serta komunitas Nepal di luar negeri. Selain prestasi dalam hal kecantikan, Shrinkhala juga dikenal sebagai aktivis yang vokal dan berpengaruh di media sosial. Popularitasnya naik seiring keterlibatannya dalam berbagai kegiatan sosial dan dukungan untuk isu-isu seperti lingkungan dan pendidikan.
Keluarga Khatiwada memang punya peran penting dalam popularitasnya. Ayahnya pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan Nepal, yang menjadikan keluarganya bukan nama asing di ranah politik dan pemerintahan. Status ini yang menjadi sorotan, dalam tren #NepoKid. Anak-anak dari tokoh-tokoh berpengaruh tengah mendapat sorotan tajam media dan publik Nepal.
Ketidakpekaan Shrinkhala terhadap isu sosial dan politik yang tengah memanas di Nepal, seperti isu #NepoKid, dianggap sebagai pengkhianatan. Keheningan yang ia pilih dianggap bukti dari ketidakpedulian. Di media sosial, saat setiap orang diharap "berpihak", ketidakberpihakan sering kali diartikan sebagai "berpihak pada yang salah."
Mengutip Jean Jacques Rousseau, filsuf politik sekaligus tokoh penting dalam Revolusi Prancis: “Ketika orang-orang tak punya apapun yang bisa dimakan, mereka akan ’memangsa’ si kaya.” Ini yang kita lihat di Nepal belakangan ini: Kerusuhan, penjarahan, pembakaran, bahkan perburuan terhadap tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas penderitaan mereka.
Fenomena ini rupanya masih berlaku. Di era sebelum digital, saat seseorang mengecewakan publik ia mungkin kehilangan beberapa penggemar atau menghadapi kritik di media massa. Hari ini, dengan kekuatan media sosial, konsekuensinya jauh lebih cepat dan kejam. Kehilangan pengikut adalah analogi modern dari dilempari tomat di pasar.
Shrinkhala menjadi contoh sempurna bagaimana publik menggunakan budaya cancel culture sebagai senjata untuk "melawan balik" figur publik yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai mereka. Ini seperti manifestasi dari "demokrasi digital," saat setiap individu memiliki kekuatan untuk menekan tombol unfollow, dan secara kolektif mengambil sikap tegas.
Artikel dari The New York Times berjudul "The Long and Tortured History of Cancel Culture" oleh Ligaya Mishan mengingatkan bahwa praktik "cancel culture" bukanlah fenomena baru. Praktik ini evolusi dari praktik pengucilan dan penghinaan publik yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Ligaya berargumen bahwa "cancel culture" adalah ritual kuno yang dihidupkan kembali di era digital. Ini mencerminkan kebutuhan manusia untuk menegakkan batasan moral dan menyingkirkan mereka yang dianggap “melanggar”. Kini hadir dengan upgrade signifikan pada kecepatan dan jangkauan media sosial yang memperkuat dampaknya.
Kita pernah melihat bagaimana penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling, kena cancel karena komentarnya yang dinilai transfobia, hingga host-komedian Ellen Degeneres yang di-cancel akibat tuduhan pembiaran terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat. Selain reputasi yang rusak, tak jarang kontrak kerja juga ikut melayang.
Di Indonesia, skenario serupa sering terjadi. Dalam sekejap, ribuan komentar negatif membanjiri akun influencer yang divonis bersalah. Tagar-tagar trending dibuat untuk menyerukan boikot. Tradisi cancel culture, di Indonesia dan di mana pun, seringkali bukan hanya tentang moralitas. Ini juga tentang kekuasaan. Ia tak sekadar soal pelampiasan, tapi juga sebuah konsekuensi.
Para influencer bak naga-naga digital. Mereka menghembuskan api opini dan tren, memengaruhi keputusan konsumsi hingga pandangan politik. Perusahaan berinvestasi besar untuk menggunakan jasa mereka sebagai corong promosi. Partai politik bahkan menyewa mereka untuk membentuk opini publik, sebuah fenomena yang kini dikenal sebagai "influencer politik."
Mereka adalah agen-agen perubahan berbayar, yang menarik ongkos untuk menggerakkan massa. Atau, setidaknya mengubah opini massa. Kekuatan mereka begitu besar, sehingga publik merasa perlu ada mekanisme kontrol. Dan cancel culture adalah mekanisme kontrol yang paling brutal dan efektif.
Publik tidak bodoh. Mereka melihat para influencer menikmati bayaran untuk mempromosikan produk, kebijakan, atau kandidat politik. Mereka menyadari bahwa pengaruh yang begitu besar bisa dimanfaatkan. Di sisi lain mereka berharap sang influencer akan menjadi suara bagi yang tak bersuara, bukan sekadar etalase produk, keputusan politik, dan gaya hidup.
Publik menyangka semua pemengaruh akan sama berisik saat isu-isu sosial sensitif muncul ke permukaan, sama seperti ketika sedang mempromosikan dagangan. Apalagi, dalam kasus di Nepal, belasan korban jiwa jadi korban. Amarah massa yang berkobar mudah sekali menyambar kemana-mana.
Publik tak peduli bahwa tak pernah ada kontrak tertulis maupun lisan, yang mewajibkan—secara moral—seorang influencer peduli dengan sekitarnya. Posisi dan pengaruh influencer menimbulkan ekspektasi sosial yang tinggi. Publik pun cenderung merasa berhak menagih komitmen moral ini karena dampak luas konten dan perilaku influencer di ruang publik.
Mendekatnya influencer pada sumbu kekuasaan, membuatnya jadi senjata paling ampuh. Sekaligus mengundang risiko besar. Ketika mereka bukan lagi sekadar corong promosi produk, tetapi alat untuk melanggengkan kekuasaan politik, kekecewaan publik akan mencapai puncaknya.
Maka cancel culture menjadi hama yang datang saat "panen" popularitas influencer dianggap tak selaras ekosistem sosial. Ini adalah cara publik untuk "membersihkan" ladang mereka, mengirimkan pesan yang tegas: "Kami yang memberimu panggung, dan kami bisa mengambilnya kembali." Inilah demonstrasi kekuasaan yang sesungguhnya.
Namun, cancel culture adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk menegakkan akuntabilitas dan moralitas. Ia bisa menjadi alarm bagi para influencer agar lebih berhati-hati dengan apa yang mereka promosikan dan bagaimana mereka bersikap. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi kampanye licik yang tidak adil dan tidak proporsional.
Seseorang bisa saja "dibatalkan" hanya karena satu kesalahan kecil yang diperbesar oleh sentimen publik yang sedang panas. Kesalahan itu, bisa saja sebuah fitnah yang sengaja disemburkan untuk memberangus reputasi dan kredibilitas, karena persaingan di antara mereka. Batas antara kritik konstruktif dan perundungan massal menjadi sangat tipis.
Kita bisa melihatnya sebagai pergeseran fundamental dalam hubungan antara figur publik dan audiensnya. Era selebritas bisa hidup dalam gelembung tak tersentuh sudah berakhir. Kini, mereka terhubung langsung dengan audiens. Koneksi ini menuntut pertanggungjawaban. "With great power comes great responsibility", adalah kutipan dari Spiderman yang pas untuk mereka.
Aksi cancel culture menjadi bentuk perlawanan, penyeimbang kekuatan, referendum digital atas loyalitas figur publik. Seperti panggung sandiwara, panggung itu bisa ditarik kembali kapan saja, meninggalkan mereka sendirian di tengah kegelapan, tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan. Senjata itu hanya butuh jari-jari yang lelah dengan keheningan dan kebohongan.