Gambar monyet yang bosan
Laporan media yang membahas kripto pada tahun 2024 menunjukkan fakta: 96% dari semua koleksi NFT yang ada dinyatakan "mati."
Ada sebuah cerita yang saya dengar dari warung kopi, entah benar atau tidak. Seorang juragan kaya dari kota memutuskan untuk membeli aroma kentut dari seorang dukun sakti. Kata si dukun, aroma kentut ini bukan sembarang kentut. Ini adalah kentut dari hantu penjaga gunung, yang konon bisa membuat tanah di perkebunan juragan subur selamanya.
Juragan itu membayar mahal sekali, sampai-sampai harga kentut itu lebih mahal dari harga tanahnya sendiri. Orang-orang di kampung menertawakannya. “Apa yang kamu beli, Juragan? Itu kentut, tidak berwujud, tidak bisa dipegang, bahkan baunya pun hanya ada sebentar.”
Tapi si Juragan bergeming. Dia beli sertifikat kepemilikan aroma kentut itu, yang dibuat di atas kertas berukir emas. Dia yakin, suatu hari nanti, kentut ini akan jadi warisan tak ternilai.
Itulah kira-kira cara sederhana untuk menjelaskan fenomena NFT (Non-Fungible Token). Pada masanya, sekitar tahun 2021, NFT adalah kentut hantu yang paling harum di dunia. Semua orang berlomba-lomba membelinya.
Ada gambar monyet yang bosan, ada gambar kura-kura yang kebingungan, ada lukisan digital yang bisa di-klik kanan lalu disimpan, semuanya dibeli dengan harga gila-gilaan. Puncaknya, seorang seniman digital bernama Beeple menjual karyanya seharga $69 juta, atau sekitar Rp1,1 triliun.
Bayangkan, $69 juta untuk sebuah karya yang bisa kita download gratis di internet. Ini bukan lagi soal seni, ini soal sebuah keyakinan kolektif bahwa sesuatu yang tidak ada wujudnya, bisa memiliki nilai yang sangat besar.
Ini mengkhawatirkan banyak pihak, termasuk penegak hukum. Dalam rapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 2022, KPK mengungkapkan NFT sangat berpotensi digunakan dalam tindak pidana pencucian uang. Seseorang bisa bikin NFT lalu membelinya dengan uang haram.
Narasi yang dibangun media saat itu sungguh memabukkan. Mereka tidak berbicara tentang seluk-beluk teknis yang rumit, seperti bagaimana blockchain bekerja atau apa itu smart contract. Mereka tidak membahas risiko pasar yang sangat spekulatif.
Mereka hanya menampilkan kisah sukses Ghozali yang mendadak jadi miliarder hanya dengan foto selfie-nya. Narasi ini seperti iklan sirup manis di bulan puasa, sangat menggoda dan menjanjikan kelegaan instan. Siapa yang tidak ingin kaya hanya dengan modal iseng?
Di situlah letak masalahnya. Kemampuan kita untuk menyaring informasi, yang seharusnya menjadi filter, malah menjadi corong yang membiarkan semua informasi masuk tanpa disaring. Kita terbuai narasi yang disuguhkan, tanpa bertanya siapa yang sebenarnya mendapat untung dari semua ini.
Kita tidak sadar bahwa di balik gemerlapnya angka-angka itu, ada para spekulan, influencer, dan marketplace yang menari-nari di atas ketidaktahuan orang awam. Mereka menjual hype, dan kita, dengan sukarela, membelinya.
Mimpi itu, ternyata tidak berlangsung lama. Seperti kentut yang baunya cepat hilang, hype NFT pun menguap. Data-data yang tadinya dikubur rapat-rapat, kini muncul ke permukaan. Laporan media yang membahas kripto, pada tahun 2024 menunjukkan fakta: 96% dari semua koleksi NFT yang ada dinyatakan "mati."
Mati, artinya tidak ada lagi minat, tidak ada lagi perdagangan. Kalau itu lukisan, ibaratnya sudah turun dari dinding galeri, lalu ditaruh di gudang berdebu. Volume perdagangan pun anjlok drastis. Laporan Coinvestasi mencatat, volume perdagangan NFT menyusut menjadi hanya $466 juta pada September 2023, jauh sekali dibandingkan $17 miliar pada 2022.
Bayangkan, ini bukan sekadar turun, tapi seperti balon yang tiba-tiba kempes karena ditusuk jarum. Penurunan ini juga berimbas pada harga. Rata-rata harga penjualan NFT turun 60% dari puncaknya. Jika diibaratkan, sebuah karya yang tadinya dihargai seperti mobil mewah, kini harganya hanya setara dengan sepeda motor bekas.
Apa penyebabnya? Tentu saja bukan karena hantu monyetnya sakit perut. Penyebabnya adalah orang-orang mulai berpikir. Mereka mulai menyadari bahwa sebuah gambar digital yang tidak punya nilai guna nyata, hanya berharga karena orang lain ingin membelinya dengan harga lebih mahal. Begitu tidak ada lagi orang yang mau beli, nilainya langsung jatuh.
Pasar ini juga dikuasai oleh segelintir koleksi "blue-chip," seperti Bored Ape Yacht Club atau CryptoPunks, yang harganya masih bertahan karena sudah memiliki komunitas yang loyal. Tapi, bagi ratusan ribu proyek NFT baru, nasibnya mengenaskan.
Laporan BeInCrypto menyebutkan bahwa 98% proyek baru di tahun 2024 hampir tidak memiliki perdagangan sama sekali. Hanya 0,2% yang berhasil memberikan keuntungan bagi investor. Ini bukan lagi pasar investasi, ini seperti membeli lotre dengan peluang menang yang nyaris tidak ada.
Kini, orang-orang mulai mencari alasan yang lebih masuk akal untuk membeli NFT. Mereka tidak lagi tertarik dengan janji kekayaan instan. Mereka mencari utilitas, alias kegunaan. Beberapa proyek NFT mencoba menghubungkan token digital mereka dengan dunia nyata.
Misalnya, sebuah NFT yang juga berfungsi sebagai tiket masuk konser, atau sebagai bukti kepemilikan aset fisik, atau sebagai karakter unik dalam sebuah permainan digital. Ini menunjukkan bahwa pasar sedang beradaptasi. Dari sebuah pasar spekulasi murni, ia bergerak menuju pasar yang lebih rasional.
Sebuah aset digital harus memiliki nilai guna nyata untuk bisa bertahan. Ini adalah pelajaran yang mahal, seperti seorang juragan yang akhirnya menyadari bahwa aroma kentut hantu tidak bisa membuat kebunnya subur. Ia harus kembali menanam, merawat, dan bekerja keras.
Pada akhirnya, kisah tentang NFT ini bukan hanya tentang gelembung aset digital yang pecah. Ini adalah sebuah cermin yang menunjukkan betapa mudahnya kita, sebagai masyarakat, terperosok ke dalam ilusi yang diciptakan oleh media dan teknologi.
Kita rela menukar uang sungguhan untuk sebuah janji, sebuah gambar digital, dan sebuah mimpi. Dan ketika mimpi itu pecah, yang tersisa hanyalah hantu monyet yang sakit perut.
