Drama BBM tiga babak
Absurditas jatah setahun ludes dalam sekejap adalah metafora sempurna untuk realitas bisnis di tengah regulasi abu-abu dan serampangan ini.
Kabarnya, bensin di beberapa SPBU swasta, yang biasa diseruput mobil-mobil perkotaan, menguap begitu saja. Bukan karena disedot jin laut, melainkan karena, konon, jatah penjualan yang seharusnya cukup untuk setahun penuh, sudah koit prematur dalam beberapa bulan saja.
Tapi alih-alih merayakan efisiensi penjualan tak terduga—sebuah realisme magis dalam laporan keuangan—yang bertiup justru kabar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang membayangi para penjaga pom. Seorang menteri sampai harus mewanti-wanti manajemen agar tidak melakukan PHK.
Ini bukan sekadar berita bisnis biasa. Ini adalah sebuah drama yang ditulis dengan tinta satir. Bayangkan: Perusahaan multinasional yang kekar dan berotot, tiba-tiba bertingkah seperti pedagang pasar yang dagangannya diembat preman, dengan satu-satunya perbedaan:
Dagangan yang “hilang” itu adalah cairan emas hitam, dan preman yang dimaksud adalah sistem birokrasi dan alokasi kuota impor yang berada di bawah otoritas pemerintah. Pertanyaannya, lantas, bukan sebatas mengapa stok habis yang teknis dan membosankan, melainkan: “Narasi macam apa yang sedang dimainkan di panggung publik ini?”
Hasil penelusuran di rimba raya media arus utama dan medsos—yang kini menjadi termometer emosi publik—menunjukkan benang merah di antara kelindan benang kusut yang berbelit. Kabar PHK pertama kali mencuat bukan dari rilis resmi yang clean dan terstruktur, melainkan dari unggahan viral, sebuah whisper digital dari para karyawan SPBU yang terancam.
Narasi media cenderung fokus pada efek domino yang tragis. Fokusnya para pekerja. Pegawai SPBU Shell, misalnya, di Lenteng Agung, Jakarta, dilaporkan mulai “lay off”. Sebuah krisis kemanusiaan di akar rumput. Kekosongan stok BBM bikin sepi minimarket dan bengkel, memaksa karyawan yang tersisa menjual kopi literan hingga menerima pijat untuk “bertahan hidup”.
Entah siapa dirigennya, narasi ini efektif menggeser fokus dari regulasi dan manajemen rantai pasok yang dingin, ke perjuangan hidup yang hangat dan personal. Belakangan Shell membantah adanya PHK massal, menyebutnya “penyesuaian jam operasional dan tim yang bertugas melayani pelanggan.”
Namun, narasi PHK karena stok kosong terlanjur menjadi santapan empuk, menarik simpati untuk para karyawan, dan secara tak langsung, untuk korporasi yang “tidak berdaya” ini.
Bersamaan dengan itu, narasi tentang pergumulan kuota impor menjadi perdebatan. Shell disebut-sebut sulit mendapat jatah impor, bahkan isunya “stok impor udah ga akan ada lagi sampai tahun depan.” Santer diberitakan, jatah impor setahun sudah habis meski baru memasuki September, sementara izin realisasi impor tambahan tidak mudah diakses.
Respons dari pemangku kebijakan, seperti anjuran Menteri agar Shell “beli saja ke Pertamina,” justru memperkuat citra Shell sebagai “korban sistem yang terstruktur”—raksasa bisnis yang terhimpit politik minyak domestik. Wacana monopoli justru menyerang balik pemerintah, meski tawaran itu berdasarkan kuota milik Pertamina Patra Niaga yang masih tersisa sebesar 34%,
Penjelasan lain bahwa pengaturan impor BBM swasta penting demi menjaga keseimbangan neraca perdagangan, malah terkesan makin defensif. Padahal, argumen ini valid. Membuka keran impor akan memicu permintaan dolar, yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah. Pelemahan rupiah bisa mengerek harga barang impor yang lain, ujungnya memicu inflasi.
Lagipula, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan kuota impor untuk SPBU swasta pada 2025 sudah naik 110% dari tahun sebelumnya. Mereka tak berencana menaikkan lagi kuota tersebut. Mengutip konstitusi soal hajat hidup orang banyak, Bahlil berdalih 110% sudah cukup fair.
Kita pun dihadapkan drama tiga babak: (1) Penjualan SPBU swasta melampaui perhitungan logistik dan regulasi, izin kuota tambahan tersendat; (2) Karyawan terancam kehilangan pekerjaan karena dagangan perusahaan terlalu laris di luar perkiraan; dan (3) Tawaran pemerintah menambal pasokan setidaknya hingga tutup tahun malah menuai sentimen negatif.
Babak awal ini ceritanya sudah jelas. Permintaan melonjak di tengah sentimen negatif terhadap SPBU pelat merah. Publik marah, sakit hati merasa dibohongi, dikhianati. Lalu pindah ke lain hati. Tapi itu baru lakon di depan panggung. Di belakangnya, ada aturan baru izin impor BBM yang misterius.
Peraturan itu, konon, mengubah masa berlaku izin impor dari 12 bulan menjadi 6 bulan dengan evaluasi per kuartal. Impor jadi berbelit, menambah beban administrasi. Badan usaha hilir swasta kesulitan memperbarui izin tepat waktu, ujungnya distribusi pasokan tersendat. Bagian misteriusnya, aturan mana yang sebenarnya dirujuk? Beleid yang mana?
Durasi izin impor BBM yang dipersingkat menjadi enam bulan dengan evaluasi berkala seharusnya kebijakan teknis Kementerian ESDM. Tetapi tak bisa ditemukan beleid dimaksud, hanya ditegaskan secara lisan oleh Menteri Bahlil Lahadalia dalam berbagai pernyataan resmi menyusul rapat koordinasi melalui konferensi pers Kementerian ESDM pada akhir Februari 2025.
Dalam sejumlah beleid, durasi izin enam bulan tidak secara eksplisit tertulis, baik dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2021 maupun Permendag Nomor 25 Tahun 2022 yang mengatur prosedur dan tata cara impor. Makin absurd karena aturan wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 bulan, merujuk Pasal 11 Permen ESDM No. 35 Tahun 2016, yang isinya:
Badan Usaha Swasta yang melakukan pembangunan Kilang Minyak wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada Direktur Jenderal setiap 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Babak kedua, warung yang kelarisan malah bingung karyawannya mau ngapain. Cerita absurd tentang bisnis kebanjiran konsumen kok diberitakan karyawannya kena PHK. Ini seharusnya sudah clear karena pihak terkait, Shell Indonesia, sudah mengkonfirmasi: Tidak ada pemutusan hubungan kerja. Adegan ini justru paling bikin publik bersemangat. Dramanya paling hot.
Babak ketiga, ini paling absurd. Publik seperti tidak menyisakan sedikitpun kepercayaan pada pemerintah. Semua langkah dicurigai, mengundang pertanyaan, dan berpotensi ditolak. Ibarat cowok yang selalu serba salah di hadapan ceweknya. Di depan panggung, kita disuguhi adegan Menteri Bahlil dengan santai komentar, “beli saja ke Pertamina.”
Langkah ini disebut bersifat darurat dan mendorong kolaborasi antara badan usaha swasta dengan Pertamina. Ia juga menekankan bahwa mekanisme tersebut tidak dimaksudkan sebagai praktik monopoli, mengingat sepanjang 2025 ESDM telah memberikan tambahan kuota impor BBM untuk swasta.
Sementara di belakang panggung, solusi sementara akhirnya disepakati. Badan usaha swasta yang terdiri dari Shell, BP, Vivo, dan ExxonMobil akan membeli BBM dari Pertamina tetapi berbentuk base fuel (BBM murni). Dalam 7-14 hari setelah kesepakatan (sejak 19 September 2025), stok diharapkan sudah normal dan SPBU swasta bisa beroperasi kembali.
Apakah krisis isu pasokan ini berakhir? Mungkin saja, tapi mungkin juga malah membuka kotak pandora yang baru. Pemerintah menjamin harga jual BBM di SPBU swasta tidak mengalami kenaikan pasca-kesepakatan impor via Pertamina. Penetapan harga base fuel akan dilakukan secara adil dan transparan melalui sistem Open Book.
Artinya, semua biaya—mulai dari impor, logistik, hingga penyerahan—akan dihitung bersama dan disepakati. Janji Open Book yang seharusnya menolak praktik monopoli, semoga tidak beroperasi seperti buku teka-teki silang: Semua informasi ada di sana, tapi hanya pihak paling berkuasa yang memegang kunci jawabannya. Kuncinya: Harga jual dari Pertamina.
Tragedi stok BBM ini mengajarkan bahwa di era modern, komunikasi krisis tak beda jauh dengan seni pertunjukan. Shell mengubah plot izin impor yang rumit menjadi drama kemanusiaan yang menyentuh. Mereka turut menikmati narasi “PHK karena stok kosong”, dan sepertinya menambah amunisi untuk menekan regulator, sekaligus mempertahankan citra.
Absurditas jatah setahun ludes dalam sekejap adalah metafora sempurna untuk realitas bisnis di tengah regulasi abu-abu dan serampangan ini. Perpaduan jenaka antara kebrutalan efisiensi dan perubahan regulasi izin impor BBM tanpa dasar hukum yang jelas: Sebuah pelanggaran yang nyata terhadap prinsip konsistensi, transparansi, dan prediktabilitas.
Di penghujung hari, drama ini menyisakan pertanyaan: Siapa yang sebenarnya paling dirugikan dan diuntungkan dalam permainan ini? Saya tidak tahu jawabannya. Mungkin perlu ngopi dengan karyawan SPBU yang sibuk menjual kopi literan alih-alih mengisi kendaraan pelanggannya dengan BBM.
