17+8 Tuntutan Rakyat
Bagi DPR ini semacam strategi low-cost, high-visibility: Mudah dijalankan, mendapat liputan luas, pun berkesan cepat tanggap.
Aksara di spanduk-spanduk lusuh itu sudah luntur, membaur dengan air hujan. Namun isinya masih jelas: "Tolak Tunjangan DPR!". Tuntutan yang menyalak sejak pertengahan Agustus itu membengkak jadi manifesto rumit, bertajuk "17+8 Tuntutan Rakyat". Angka itu menjadi simbol dari kegelisahan kolektif yang menjadi teriakan di berbagai sudut kota.
Repons positif dari pemerintah dan DPR membuat publik bertanya-tanya: Apa itu dan siapa di belakang "17+8”? Dalam situasi “tak normal”, reaksi seperti ini wajar. Puncaknya, saat inisiator "17+8” ditemui dua anggota DPR—di depan gerbang kompleks DPR RI. Publik terkesima. Menimbulkan pertanyaan, kok bisa semudah itu?
Awalnya, tuntutan terhadap DPR dan pemerintah dianggap angin lalu. Respons pemerintah, seperti pita kaset yang diputar ulang, berisi janji akan didengar. Bahkan, respons beberapa anggota DPR RI meremehkan rakyatnya sendiri. Massa pun naik pitam, membuat daftar tuntutan jadi makin panjang.
Aksi yang memanas menyebabkan kematian warga sipil, terutama akibat kekerasan aparat yang menimpa pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan. Gelombang aksi diwarnai kerusuhan dan penjarahan merebak di berbagai kota. Darurat militer sempat berembus. Sejak Agustus hingga awal September 2025, sudah ada 10 korban jiwa, termasuk Affan.
Presiden Prabowo Subianto sampai dua kali pidato menanggapi situasi yang terkesan tak terkendali. Tanggapan pertama terkait tewasnya Affan, kedua menanggapi aksi yang menurutnya semakin rusuh, bahkan menjurus makar serta terorisme. Lalu lahirlah tuntutan 17+8 itu.
Tuntutan itu lahir di tengah gelombang aksi massa yang meluas. Beberapa orang pegiat media sosial menggagas gerakan untuk mengumpulkan narasi tuntutan pengunjuk rasa, dan parapihak. Mereka lantas membuat “17+8 Tuntutan Rakyat”, menghimpun tuntutan demonstran yang terserak.
Media massa “menyambut” positif inisiatif ini. Bisa ditemukan kabar-kabar dengan sentimen positif tentang tuntutan ini. Sementara, netizen di media sosial terbelah. Memang ada dukungan nyata, tapi tak sedikit yang skeptis. Wabil khusus, soal representasi. Apakah sah menyebut “17+8” sebagai “Tuntutan Rakyat”? Lainnya bertanya balik, “Mengapa tidak?”
Tuntutan itu bukan satu-satunya yang muncul ke permukaan. Ada banyak versi tuntutan lain, baik dari kalangan masyarakat sipil, organisasi profesi, hingga akademisi. Saya pun ikut bertanya, mengapa pemerintah dan DPR memilih merespons “17+8”? Apakah karena di sana banyak influencer?
Upaya mencari jawaban ini mempertemukan saya dengan teori komunikasi krisis W. Timothy Coombs (2007). Aslinya memang untuk organisasi, dan sebagian besar praktiknya berasal dari Barat. Menurut Coombs dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT), krisis bisa dibagi berdasarkan seberapa besar publik menilai pihak terkait bertanggung jawab.
Pertama, victim cluster—saat organisasi menjadi korban (misalnya korban bencana alam, terorisme). Kemudian, accidental cluster—krisis akibat kesalahan teknis atau tidak disengaja (misalnya kesalahan produk). Dan terakhir, preventable/intentional cluster—krisis akibat kesalahan yang seharusnya bisa dicegah, organisasi sangat bertanggung jawab.
Respons terhadap krisis, idealnya setara dengan dosis krisisnya. Dalam kasus ini, krisis sudah tergolong “preventable”—sebenarnya bisa dicegah bila respons pemerintah dan DPR lebih hati-hati. Maka, seperti dijelaskan Coombs, publik menaruh tanggung jawab sangat besar pada pemerintah dan DPR. Dalam situasi seperti ini, ada sejumlah pilihan strategi.
Karena atribusi tanggung jawab publik terhadap pemerintah dan DPR sangat besar, strategi menyangkal (denial) atau meremehkan (diminishment) akan menjadi bumerang. Ini terbukti saat krisis tereskalasi, berbuah lima anggota DPR angkat kaki dari Senayan. Pilihannya tinggal memulihkan kepercayaan (rebuilding), atau satu jurus tambahan, yaitu mengingatkan kekuatan atau kelebihan (bolstering) yang sudah ada.
Langkah DPR merespons “17+8” dengan segera mencabut tunjangan, menunda perjalanan dinas luar negeri, dan memangkas sejumlah fasilitas lain bisa dibaca sebagai upaya membangun kembali kepercayaan. Meski, publik bisa melihat ada angka-angka yang dikompensasikan, sehingga langkah ini tetap dinilai tidak sepenuhnya tulus untuk menekan pemborosan. Lagipula, pilihan ini sudah disampaikan sebelumnya lewat pidato presiden.
Di sisi lain, Presiden Prabowo menyatakan sebagian tuntutan “17+8” memang masuk akal, misal desakan membentuk tim investigasi independen dalam kasus Affan Kurniawan. Pernyataan ini sejalan dengan strategi memperbaiki citra melalui pengakuan dan solusi konkret. Terasa sekali respons rebuilding ini langsung menyejukkan telinga.
Namun, Presiden juga mengatakan bahwa sebagian tuntutan lain, misalnya soal penarikan TNI dari pengamanan sipil, masih perlu perundingan. Dari penjelasannya, mencerminkan pendekatan berbeda—penyangkalan (denial). Ia tetap yakin peran TNI dibutuhkan dalam “menjaga rakyat dari ancaman mana pun”—yang ia pernah klaim sebagai aksi makar dan terorisme.
Respons Presiden memperlihatkan taktik yang lebih kompleks dan berlapis. Ia bergeser dari narasi sebelumnya yang fokus pada stabilitas dan keamanan, menjadi lebih akomodatif. Namun, tetap denial dengan narasi menggeser tanggung jawab. Frasa "perlu perundingan" menunjukkan pemerintah mencoba mengelola tuntutan melalui jalur birokrasi dan negosiasi.
Ia pun menyangkal kriminalisasi demonstran secara umum, tetapi berfokus pada kesalahan massa aksi. Ia menolak bertanggung jawab atas eskalasi konflik dan mengalihkan kesalahan ke pihak ketiga. Presiden berulang kali menuding "anasir-anasir perusuh" yang membakar, bahkan menyebut publik salah menyangka petasan sebagai "simulasi tembakan dari petugas."
Di balik pernyataannya, Presiden juga memanfaatkan strategi bolstering, dengan mengingatkan publik tentang program-program kesejahteraan yang sudah berjalan untuk meredam kekecewaan. Sebuah taktik untuk memperkuat citra di tengah kritik.
Jadi mengapa tuntutan “17+8” yang dieksploitasi? Dari gambaran di atas tampak bahwa bagi DPR, pilihan ini low-cost, high-visibility: Menyediakan pilihan yang mudah dijalankan, mendapat liputan luas, berkesan tanggap. Publik bisa melihat keputusan DPR seolah respons nyata, jadi tensi bisa menurun. Sementara tuntutan yang berat tidak langsung dijawab, membuka ruang untuk manuver.
DPR membuka pengakuan kesalahan/kelemahan, bahkan pernah minta maaf, meski masih jauh dari tulus. Ada niat terhadap koreksi yang terlihat nyata—menjawab tanpa melanggar tenggat—walau isinya tak menyentuh akar masalah. Bahkan kompensasi atau konsesi yang ditawarkan, relatif “murah” secara politik maupun biaya. Jadi manuver atas tuntutan “17+8” sejatinya sangat menguntungkan mereka.
Sementara tanggapan Presiden, ternyata muncul setelah disodori berkas tuntutan “17+8” saat pertemuan dengan awak media di Hambalang. Tampak bahwa presiden mungkin tidak tahu tentang tuntutan itu sebelumnya. Itupun, presiden memilah antara tuntutan “masuk akal” dengan yang masih “perlu perundingan”. Ini dapat dilihat sebagai taktik rebuilding tapi masih minimalis dalam merespons krisis.
Tergolong minimalis, karena menurut Coombs, mengakui masalah dan mengambil tindakan nyata lebih efektif daripada menyangkal atau bersikap defensif. Komunikasi krisis yang baik tidak hanya soal strategi yang tepat, tapi juga eksekusi yang komprehensif. Empati, transparansi, dan koordinasi komunikasi sama pentingnya dengan tindakan korektif itu sendiri.
Coombs pun mengingatkan bahwa dalam krisis preventable, publik cenderung tidak mau mendengar alasan teknis atau kerumitan birokrasi. Yang diharapkan adalah langkah korektif yang tegas dan menyeluruh. Karena itu, strategi yang bercampur antara “memperbaiki” dan “mengurangi tanggung jawab” bisa terasa tidak cukup. Apalagi terlalu pamer capaian.
Adapun beberapa tuntutan krusial justru belum dijawab sama sekali. Misalnya, desakan upah layak bagi seluruh angkatan kerja, mencegah PHK massal, Reformasi partai politik, hingga kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat. Apalagi tuntutan mencopot Kapolri.
Diamnya pemerintah terhadap isu-isu mendasar ini membuat publik bisa menilai bahwa respons sejauh ini hanya bersifat kosmetik—sekadar meredakan kemarahan, bukan menyelesaikan akar persoalan. Seperti menguatkan kesimpulan pada tulisan sebelumnya: Ini tidak menyelesaikan masalah, melainkan mengelola persepsi publik terhadap masalah.
Respons pemerintah dan DPR mungkin bisa meredakan suasana panas sesaat, tetapi jalan panjang masih menanti. Jika pemerintah tidak segera memperluas langkah-langkah perbaikan ke isu-isu substansial, krisis kepercayaan terus berlanjut. Menurut Coombs, hanya dengan strategi rebuilding yang komprehensif—pengakuan, perbaikan nyata, dan transparansi penuh—pemerintah bisa benar-benar memulihkan kepercayaan rakyat.
Belajarlah dari respons rezim lama menghadapi kritik pada UU Cipta Kerja. Protes besar-besaran terhadap undang-undang itu tidak hanya berakhir di jalan, bahkan berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya dua putusan MK, hingga kini belum semua putusan terlaksana. Alhasil, polemik UU Cipta Kerja masih belum berakhir.
Pemerintah yang mendengarkan dan merespons tuntutan rakyat dengan tepat justru akan memperkuat legitimasinya. Sebaliknya, sikap mengabaikan atau defensif hanya akan memperburuk krisis dan mengikis kepercayaan publik. Mengubur api dalam sekam.
